BULAN yang HENGKANG DARI MALAM­
Serba hijau dan biru kehitaman warnanya. Jalan nya masih asli, berbinar cahaya coklat, dan mengkilap apabila turun hujan. Lebur hancur bongkah keras nya pabila panas menghampiri sembari datang. Desa Lekung yang bersebrangan dengan rimba, berbaur dengan hutan dan berteman dengan alam. Hasi bumi sangat melimpah ruah, kejernih dan lembah nya air yang membubuh disepanjang sungai.  Bukan sepi disana, namun keadaan  disana selau ramai dan riuh. Ternyata  karena gadis pelita desa yang dicinta, tidak banyak yang mau menikah. Bukan agama alasan nya, tapi memang peria yang banyak pilihan nya.
Jika siang sudah beranjak pergi, muncullah banyak lelaki muda nan gagah. Banyak sekali mereka. Tak karuan darimana datang nya, seakan mereka henda bertarung dan tawuran belaka. Tapi penampilan mereka menghalau pikiran itu, memakai sarung khas desa dan ikat kepala yang membuatnya makin terlihat berwibawa, ini hanya demi gadis kembang desa yang tercinta.
Maenah salah satunya. Dia adalah gadis desa yang amat cantik dan berbudi pekerti, banyak sekali para pria yang datang kerumah nya. Banyak betul laki laki jaman itu. Bahkan rumah nya yang berdinding pagar bambu dan mempunyai halaman yang agak luas biasanya sampai penuh, dan kadang kadang ada yang rela diluar pekarangan prumahan Maenah. Itu hanya demi menyaimbarai gadis pilihan itu. Tapi ya seperti itulah emas yang langka, sulit untuk mendapat kannya. Iya pun tau kalau banyak yang menghendaki kehadiran nya sebaga bendahara rumah tangga. Dibutuhkan kekuetan dan taktik jitu penawar rindu untuk memenangi pertandingan bebas dengan hadiah adalah jurinya.
Penduduk desa sering memanggil orang yang kuat dalam bertarung baik fisik maupun batin itu sebagai PEPADU. Juga kata ini sering disebut jika ada sebuah tradisi budaya yang benama PERISAIAN. Atau bertempur  dengan sebuah perisai yang terbuat dari kulit sapi yang disangga beberapa bilah kayu yang sudah disesuaikan dan rotan sebagai alat pemukul nya.
Cerah hari Sabtu, lapangan umum milik negara nampak tak biasa. Lagu dan alat musik desa mulai diketuk. Sentak halayak mulai diam, tapi satu bunyi yang tah berhenti. “Tak tak tak ......” “wes.... “ bunyi itu makin jelas. “Srak ......!!!” suara terdengar ditelinga.” Kalah” dan “Menang” bunyi bibir para warga yang berjejat itu.
Diangkat nya pemenang dan dinasehatinya yang kalah adalah ahir pertandingan prisean babak pertama ini.
­­­­Babak kedua hampir dimulai. Tetua sudah angkat bicara memanggil para perwira kampung. Majulah satu peria besar nan kekar. Nampak nya dia sudah ditolak oleh seorang remaja wanita, muaknya merah tak ada senyum nya. Bersarung hitam dan membuka baju sambil berikat hitam, menambah seram muka amsam nya. Tapi tetap saja warga ada yang berpihak pada dia. Si Ijo Balit nama julukan nya, terkenal dengan tahan dalam bertanding.
Bukan kebetulan, tapi pas. Seorang remaja berkulit sawo yang agak mateng. Iya tak berniat tapi keadaan yang membuatnya bertekad untuk mematah sipat sombong peria berkulit sawo gosong yang didepan itu. Semalam iya bertemu teman mas kecil nya Maisya Ar Ranah yang sering iya panggil Maenah. Hendak mengubah sejarah teman menjadi yang lebih dekat, tapi simungil teman kecilnya itu tetap tegak, takmau berubah walau dihati nay juga ada rasa. Akhirnya putuslah bicara keduanya malam itu dengan tantangan menundukkan satu lawan dalam prisean.
Bangkitlah iya dari kerumunan penonton, kemudian diberi sarung bermotif alam berwarna putih. Lalu ikat kepala dipasang dan baju dilepas, nampak otot kekar yang berjejer diperut dan punggung nya. Dia tak punya namalain selain nama aslinya, Muhammad Zainal.
Satu langkah menuju pusat arena, ia pun dibekali perisai dan rotan. Pengarah pun memulai perhelatan. Pukulan pertama terlontar dari Ijo Balit yang membuat tameng Zainal agak kendur. Terus bergerak menghindar, Zainal mencari celah tuk melepas rotan dibadan lawan. Namun pukulan yang kedua dari Ijo Balit memecah tameng si Zainal, rotan berhasil menyusup meniggalkan bekas dilengan kanan nya. Panas matahari makin naik seiring pertandingan. Digantilah perisai yang terbelah tadi. Arahan memeulai pertandingan sudah terlepas. Secepat kilat dan sekuat badai dan sebanyak hujan, peluru rotan menuju Zainal. Tak bisa berkutik kelihatan nya, pepadu ternama itu telah menghujani Zainal dengan pukulan pamungkas nya secara bertubi-tubi. Namun Zainal tak tergores sedikitpun, padahal pukul kanan, pukul kiri, atas dan bawah tak luput dari serangan maut sang pepadu mashur Ijo Balit. Sampai lah kepada pentulan pertama dari Zainal yang hanya mengenai bulu ketiak sng Ijo Balit. Tak lebih, hanya seutas bulu ketiak yang terkena. Marahnya luar dari biasa, Zainal hendak dibuat mayat. Mengamuklah si Ijo Balit,  tapi Zainal akhirnya dapat tenag karena sudah membaca pola acak hunusan rotan musuh nya. Satu pukulan ditepis, satu pukulan pula yang dilangsungkan. Seakan mesin latihan yang rusak, Zainal meleps pukulan dengan cepat dan tepat kepada Ijo Balit. Satu pukulan melesat bersamaan sambil meloncat menyasar kepala, tapi Zainal selalu waspada, serangan itu dapat dihalangi dengan tameng dan Ijo Balit terkapar ditanah. Satu garis merah melintang dimukanya. Zainal memenuhi syarat semalam sengan memenangkan prisean itu. Sekaligus mendapat gelar Angin Alus, yang dalam bahasa sasak artinya  angin yang halus, karna iya pandai megelak dan bermain halus tapi mematikan.
Hari berganti sehalus angin menerpa wajah.

Comments

Popular posts from this blog